Sebagian masyarakat masih ada yang kurang memahami virus rubella atau
campak Jerman. Meski penyakit yang sejenis dengan campak namun berbeda
virus penyebabnya ini, hanya menyerang sekali seumur hidup namun efeknya
berbahaya jika penderitanya adalah ibu hamil.
Pemakaian kata Jerman dalam penyakit campak Jerman atau rubella,
ternyata tidak ada hubungannya apakah penyakit tersebut berasal dari
negara Jerman. Akibat konotasi yang salah itu, penyakit ini bagi orang
awam dikenal sebagai penyakit orang Eropa, padahal penyakit tersebut ada
dimana-mana, termasuk Indonesia.
Penyebab rubella atau campak Jerman adalah virus rubella. Meski virus
penyebabnya berbeda, namun rubella dan campak (rubeola) mempunyai
beberapa persamaan. Rubella dan campak merupakan infeksi yang
menyebabkan kemerahan pada kulit pada penderitanya.
Perbedaannya, rubella atau campak Jerman tidak terlalu menular
dibandingkan campak yang cepat sekali penularannya. Penularan rubella
dari penderitanya ke orang lain terjadi melalui percikan ludah ketika
batuk, bersin dan udara yang terkontaminasi. Virus ini cepat menular,
penularan dapat terjadi sepekan (1 minggu) sebelum timbul bintik-bintik
merah pada kulit si penderita, sampai lebih kurang sepekan setelah
bintik tersebut menghilang.
Namun bila seseorang tertular, gejala penyakit tidak langsung tampak.
Gejala baru timbul kira-kira 14 – 21 hari kemudian. Selain itu, campak
lebih lama proses penyembuhannya sementara rubella hanya 3 hari, karena
itu pula rubella sering disebut campak 3 hari.
Berbahaya Bagi Ibu Hamil
Bagi ibu hamil, campak Jerman sangat berbahaya efeknya terutama pada
tiga bulan pertama kehamilan. Virus rubella dapat menembus plasenta dan
menyerang janin yang sedang tumbuh sehingga dapat menyebabkan janin yang
dikandung akan cacat. Rawannya trimester pertama, karena pada saat
itulah masa pembentukan organ tubuh janin. Jika kandungan ibu sudah
mencapai triwulan kedua, kemungkinan cacat bawaan berkurang sampai 6,8%.
Sedangkan dalam triwulan ketiga, kemungkinan itu makin kecil, yaitu
5,3% saja.
Biasanya,
kalau ibu terjangkit rubella sebelum trimester kedua kehamilannya,
dokter akan menganjurkan agar kandungannya dibuang. Sebab, adanya
kemungkinan bayi cacat perlu dipertimbangkan. Selain itu, bayi yang
dilahirkan dari ibu yang terjangkit rubella akan menjadi penyebar virus
selama berbulan-bulan sesudahnya. Ini tentu membahayakan. Baik terhadap
sesama bayi maupun orang dewasa.
Karena itulah, disarankan bagi wanita yang mengandung untuk rutin
melakukan pemeriksaan untuk mengantisipasi virus tersebut. Atau lebih
baik lagi, jika mendapatkan imunisasi measles-mumps-rubella (MMR). Untuk
memberantas rubella, disarankan agar wanita yang belum menikah atau
berkeinginan hamil menjalani pemeriksaan atau test darah. Jika wanita
tersebut tergolong rentan rubella, sebaiknya divaksinasi.
Bagi orang terutama wanita yang pernah terjangkit campak Jerman,
tidak akan mengalaminya lagi, karena rubella diderita sekali seumur
hidup. Meski demikian, bagi wanita hamil sebaiknya tetap menjalani
pemeriksaan, untuk mengetahui apakah tubuhnya sudah membentuk zat
antibodi rubella atau belum.
Untuk vaksin rubella ini memang relatif mahal. Namun jika tidak
dilakukan maka penyakit radang otak menjadi komplikasi penyakit rubella,
selain peradangan pada telinga tengah.
Rubella Pada Balita
Bagi anak-anak balita, pada usia 15 bulan atau 12 bulan (jika ia
tidak mendapatkan imunisasi campak), diberikan vaksinasi
mumps-measles-rubella (MMR), untuk mencegah risiko tinggi yang
membahayakan bagi kesehatan.
Selama ini banyak yang mengatakan bahwa vaksin tersebut berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit Crohn's ataupun autism, namun dugaan
tersebut tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas.
Menurut Vittorio Demicheli, M.D., dari Servizo Sovrazole
Epidemiologia, Mumps, measles dan rubella adalah penyakit yang serius
yang berpotensi menjadi suatu penyakit yang fatal, menyebabkan kecacatan
dan kematian.
Measles dan rubella masih terjadi pada negara yang sedang berkembang
dimana program vaksinasi tidak dijalankan dengan baik sehingga angka
kematian akibat penyakit ini tinggi. Di negara yang sudah berkembang
kejadian penyakit ini jarang terjadi.
Dalam penelitiannya baru-baru ini, Dr Demicheli dan timnya
mempelajari bukti-bukti tentang keuntungan dan kerugian pengguanaan
vaksin MMR. Mereka melakukan 139 penelitian, 31 diantaranya mengalami
bias. Penelitian tersebut membandingkan percobaan prospektif dan
retrospektif terhadap efek dari MMR dibandingkan dengan plasebo.
Hasil yang didapatkan adalah vaksin tersebut sangat rendah
menyebabkan gangguan infeksi traktus respiratorius bagian atas, dan
terlihat efeknya tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan plasebo.
Mereka menemukan hubungan yang positif antara MMR dan trombositopeni
purpura ringan, parotitis, kejang febril dalam 2 minggu setelah
divaksinasi.
Kesimpulan yang didapatkan menjelaskan bahwa tidak ada fakta yang
dapat membuktikan hubungan antara vaksinasi MMR dengan penyakit Crohn's,
kolitis ulseratif ataupun autism.
http://id.wikipedia.org/wiki/Virus_Rubela
Tidak ada komentar:
Posting Komentar