Senin, 08 September 2014

Mengenal Rubella atau Campak Jerman

Sebagian masyarakat masih ada yang kurang memahami virus rubella atau campak Jerman. Meski penyakit yang sejenis dengan campak namun berbeda virus penyebabnya ini, hanya menyerang sekali seumur hidup namun efeknya berbahaya jika penderitanya adalah ibu hamil.
Pemakaian kata Jerman dalam penyakit campak Jerman atau rubella, ternyata tidak ada hubungannya apakah penyakit tersebut berasal dari negara Jerman. Akibat konotasi yang salah itu, penyakit ini bagi orang awam dikenal sebagai penyakit orang Eropa, padahal penyakit tersebut ada dimana-mana, termasuk Indonesia.
Penyebab rubella atau campak Jerman adalah virus rubella. Meski virus penyebabnya berbeda, namun rubella dan campak (rubeola) mempunyai beberapa persamaan. Rubella dan campak merupakan infeksi yang menyebabkan kemerahan pada kulit pada penderitanya.
Perbedaannya, rubella atau campak Jerman tidak terlalu menular dibandingkan campak yang cepat sekali penularannya. Penularan rubella dari penderitanya ke orang lain terjadi melalui percikan ludah ketika batuk, bersin dan udara yang terkontaminasi. Virus ini cepat menular, penularan dapat terjadi sepekan (1 minggu) sebelum timbul bintik-bintik merah pada kulit si penderita, sampai lebih kurang sepekan setelah bintik tersebut menghilang.
Namun bila seseorang tertular, gejala penyakit tidak langsung tampak. Gejala baru timbul kira-kira 14 – 21 hari kemudian. Selain itu, campak lebih lama proses penyembuhannya sementara rubella hanya 3 hari, karena itu pula rubella sering disebut campak 3 hari.

Berbahaya Bagi Ibu Hamil
Bagi ibu hamil, campak Jerman sangat berbahaya efeknya terutama pada tiga bulan pertama kehamilan. Virus rubella dapat menembus plasenta dan menyerang janin yang sedang tumbuh sehingga dapat menyebabkan janin yang dikandung akan cacat. Rawannya trimester pertama, karena pada saat itulah masa pembentukan organ tubuh janin. Jika kandungan ibu sudah mencapai triwulan kedua, kemungkinan cacat bawaan berkurang sampai 6,8%. Sedangkan dalam triwulan ketiga, kemungkinan itu makin kecil, yaitu 5,3% saja.
Biasanya, kalau ibu terjangkit rubella sebelum trimester kedua kehamilannya, dokter akan menganjurkan agar kandungannya dibuang. Sebab, adanya kemungkinan bayi cacat perlu dipertimbangkan. Selain itu, bayi yang dilahirkan dari ibu yang terjangkit rubella akan menjadi penyebar virus selama berbulan-bulan sesudahnya. Ini tentu membahayakan. Baik terhadap sesama bayi maupun orang dewasa.
Karena itulah, disarankan bagi wanita yang mengandung untuk rutin melakukan pemeriksaan untuk mengantisipasi virus tersebut. Atau lebih baik lagi, jika mendapatkan imunisasi measles-mumps-rubella (MMR). Untuk memberantas rubella, disarankan agar wanita yang belum menikah atau berkeinginan hamil menjalani pemeriksaan atau test darah. Jika wanita tersebut tergolong rentan rubella, sebaiknya divaksinasi.
Bagi orang terutama wanita yang pernah terjangkit campak Jerman, tidak akan mengalaminya lagi, karena rubella diderita sekali seumur hidup. Meski demikian, bagi wanita hamil sebaiknya tetap menjalani pemeriksaan, untuk mengetahui apakah tubuhnya sudah membentuk zat antibodi rubella atau belum.
Untuk vaksin rubella ini memang relatif mahal. Namun jika tidak dilakukan maka penyakit radang otak menjadi komplikasi penyakit rubella, selain peradangan pada telinga tengah.
Rubella Pada Balita
Bagi anak-anak balita, pada usia 15 bulan atau 12 bulan (jika ia tidak mendapatkan imunisasi campak), diberikan vaksinasi mumps-measles-rubella (MMR), untuk mencegah risiko tinggi yang membahayakan bagi kesehatan.
Selama ini banyak yang mengatakan bahwa vaksin tersebut berpengaruh terhadap terjadinya penyakit Crohn's ataupun autism, namun dugaan tersebut tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas.
Menurut Vittorio Demicheli, M.D., dari Servizo Sovrazole Epidemiologia, Mumps, measles dan rubella adalah penyakit yang serius yang berpotensi menjadi suatu penyakit yang fatal, menyebabkan kecacatan dan kematian.
Measles dan rubella masih terjadi pada negara yang sedang berkembang dimana program vaksinasi tidak dijalankan dengan baik sehingga angka kematian akibat penyakit ini tinggi. Di negara yang sudah berkembang kejadian penyakit ini jarang terjadi.
Dalam penelitiannya baru-baru ini, Dr Demicheli dan timnya mempelajari bukti-bukti tentang keuntungan dan kerugian pengguanaan vaksin MMR. Mereka melakukan 139 penelitian, 31 diantaranya mengalami bias. Penelitian tersebut membandingkan percobaan prospektif dan retrospektif terhadap efek dari MMR dibandingkan dengan plasebo.
Hasil yang didapatkan adalah vaksin tersebut sangat rendah menyebabkan gangguan infeksi traktus respiratorius bagian atas, dan terlihat efeknya tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan plasebo. Mereka menemukan hubungan yang positif antara MMR dan trombositopeni purpura ringan, parotitis, kejang febril dalam 2 minggu setelah divaksinasi.
Kesimpulan yang didapatkan menjelaskan bahwa tidak ada fakta yang dapat membuktikan hubungan antara vaksinasi MMR dengan penyakit Crohn's, kolitis ulseratif ataupun autism.
http://id.wikipedia.org/wiki/Virus_Rubela

Tidak ada komentar:

Posting Komentar